Hukum Membunuh dalam Islam: Apakah Pelakunya Keluar dari Islam?
Berkata Al-Bukhori (256 H):
بَابُ {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا} [الحجرات: 9] فَسَمَّاهُمُ المُؤْمِنِينَ
Bab “Jika dua thoifah (seseorang atau kelompok) dari orang-orang beriman saling berperang (atau saling membunuh) maka damaikan keduanya.” (QS. Al-Hujurot: 9) Allah menyebut mereka sebagai orang-orang beriman.
31 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ المُبَارَكِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، وَيُونُسُ، عَنِ الحَسَنِ، عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: ذَهَبْتُ لِأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ، فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ؟ قُلْتُ: أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ، قَالَ: ارْجِعْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُولُ فِي النَّارِ»، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا القَاتِلُ فَمَا بَالُ المَقْتُولِ قَالَ: «إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ»
31. Telah menceritakan kepada kami Abdurrohman bin Al-Mubarok, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid, telah menceritakan kepada kami Ayyub dan Yunus, dari Al-Hasan (Al-Bashri, 110 H), dari Al-Ahnaf bin Qois, ia berkata: Aku pergi untuk menolong orang ini (Ali bin Abi Tholib), lalu Abu Bakroh menemuiku dan berkata, “Hendak ke mana kamu?” Aku menjawab, “Aku hendak menolong orang ini.” Maka ia berkata, “Pulanglah! Sesungguhnya aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda: ‘Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan pedang mereka, maka yang membunuh dan yang terbunuh berada di Neraka.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rosulullah, yang membunuh jelas (masuk Neraka), tetapi bagaimana dengan yang terbunuh?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya ia juga berkeinginan keras untuk membunuh saudaranya.’“ (HR. Bukhori no. 31 dan Muslim no. 2888)
Makna Umum
Menumpahkan darah yang harom termasuk dosa besar yang paling besar, yang bisa menyebabkan seseorang menemui Allah Ta’ala dalam keadaan membawa dosa tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam pembunuh seorang Muslim tanpa hak dengan adzab yang sangat lama. Oleh karena itu, sekelompok dari Shohabat Nabi ﷺ memilih untuk menjauhi fitnah (kekacauan) yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan Rodhiyallahu ‘Anhu, karena takut terlibat dalam penumpahan darah yang harom, yang nanti akan Allah Ta’ala tanyakan kepada mereka pada Hari Kiamat. Di antara yang menjauhi pertempuran tersebut adalah Abu Bakroh Nufai’ bin Al-Harits, juga Ibnu Umar, Sa’ad bin Abi Waqqosh, Salamah bin Al-Akwa, Muhammad bin Maslamah Rodhiyallahu ‘Anhum.
Dalam Hadits ini, disebutkan bahwa ketika Abu Bakroh Rodhiyallahu ‘Anhu melihat Al-Ahnaf bin Qois sedang dalam perjalanan menuju medan perang, beliau bertanya: “Mau ke mana kamu?” Al-Ahnaf menjawab: “Aku akan menolong orang ini,” yang ia maksud adalah ‘Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu dalam perangnya pada hari Jamal (Perang Jamal) tahun 36 Hijriyah. Ini adalah peristiwa besar yang penuh fitnah yang terjadi di Bashroh antara ‘Ali Rodhiyallahu ‘Anhu dan pasukannya, melawan Az-Zubair, Tholhah, dan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anhum serta pasukan mereka. Keberangkatan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha bukan untuk berperang, tetapi untuk melakukan ishlah (perdamaian). Namun keadaan menjadi kacau karena ulah orang-orang jahat dan munafik, dan terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan.
Abu Bakroh Rodhiyallahu ‘Anhu berkata kepada Al-Ahnaf: “Pulanglah!” Lalu beliau mengabarkan bahwa dirinya telah mendengar Rosulullah ﷺ bersabda bahwa jika dua orang Muslim saling membunuh karena dunia atau karena ta’wil (alasan) yang tidak syar’i, maka keduanya — yang membunuh dan yang terbunuh — akan masuk Neraka.
Maka Abu Bakroh Rodhiyallahu ‘Anhu bertanya: “Wahai Rosulullah, si pembunuh memang pantas (masuk Neraka), tetapi bagaimana dengan yang terbunuh?” Maka beliau ﷺ menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh saudaranya.”
Artinya, orang yang terbunuh itu sebenarnya berniat membunuh saudaranya juga, dan kalau saja ia sempat melakukannya, niscaya ia akan melakukannya. Ini tidak termasuk Muslim yang membela diri dari sesama Muslim yang menyerangnya, yaitu yang berperang demi mempertahankan harta atau kehormatannya, baik dia membunuh maupun terbunuh.
Adapun pernyataan bahwa keduanya masuk Neraka, itu tidak berarti mereka kekal di dalamnya. Akan tetapi itu adalah hukuman atas dosa tersebut. Kemudian urusan mereka dikembalikan kepada Allah Ta’ala: jika Dia menghendaki, Dia akan menghukum mereka lalu mengeluarkan mereka dari Neraka sebagaimana kaum Muwahhidin lainnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuni mereka dan tidak menghukum mereka sama sekali. Kekekalan di dalam Neraka hanyalah bagi orang yang menghalalkan pembunuhan itu.
Dalam Hadits ini terdapat faedah bahwa perbuatan seorang Muslim yang memerangi saudaranya sesama Muslim tanpa alasan yang syar’i merupakan dosa besar, dan bahwa pelaku dosa besar tidak menjadi kafir karenanya, karena Nabi ﷺ tetap menyebut kedua pihak yang saling membunuh itu sebagai “dua orang Muslim.”
Kaitan Ayat dan Hadits
Al-Bukhori hendak menjelaskan bahwa membunuh tidak mengeluarkan orang dari Islam, karena Allah dan Nabi-Nya masih menyebut mereka dengan ungkapan “orang Islam atau orang beriman.”
Kelengkapan ayat:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Jika dua thoifah (seorang atau sekelompok) dari kaum Mukminin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain (yakni yang satu zolim dan lainnya tidak), maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rohmat.” (QS. Al-Hujurot: 9–10)
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka dengan panggilan “orang beriman.” Begitu pula Rosulullah ﷺ dalam hadits di atas menyebut “dua orang Islam.” Ini dalil bagi Ahlus Sunnah bahwa membunuh tidak mengeluarkan dari Islam. Berbeda dengan Khowarij yang berkata: pelaku dosa besar kafir dan kekal di Neraka jika tidak bertaubat sebelum wafat. Mutazilah berkata: pelaku dosa besar tidak Mukmin dan tidak kafir di dunia, sementara di Akhirat kekal di Neraka. Murjiah berkata: pelaku dosa besar tetap beriman dan maksiat tidak mempengaruhi imannya karena amal bukan termasuk iman. Ahlus Sunnah pertengahan dari mereka: ia Mukmin yang fasik. Di Akhirat, nasibnya di bawah kehendak Allah: apakah diampuni dengan rohmat-Nya atau disiksa sementara di Neraka dengan keadilan-Nya.
Ayat lain yang semakna dengan ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian qishosh (pembalasan yang seimbang) dalam kasus orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, perempuan dengan perempuan. Tetapi jika ada suatu pemaafan dari saudara (yakni saudara seagama, yaitu keluarga korban) kepada si pembunuh, maka hendaklah (pemaafan itu) diikuti dengan cara yang baik (tulus dan tidak mempersulit), dan (pembunuh) hendaklah membayar (diyat berupa 100 ekor onta atau seharga itu) kepadanya dengan cara yang baik pula (tidak mengurangi dan menunda kecuali dibebaskan). Yang demikian itu adalah keringanan dari Robb kalian dan suatu rohmat. Maka barang siapa melampaui batas setelah itu, maka baginya adzab yang pedih.” (QS. Al-Baqoroh: 178)
Ayat ini menyebut wali korban dengan “saudara seagama”, menunjukkan perbuatan membunuh tidak mengeluarkan dari Islam.
Perincian Dua Muslim yang Saling Membunuh
Membunuh ada yang hak dan batil. Yang hak (diperbolehkan) adalah penguasa menegakkan qishos (hukum bunuh setimpal) atas: pelaku pembunuhan atau pezina muhson (sudah menikah) atau murtad. Begitu pula penguasa memerangi pemberontak atau penolak membayar zakat mal, meskipun ada yang terbunuh. Segala bentuk eksekusi qishos diserahkan oleh penguasa, bukan rakyat atau individu.
Adapun ancaman dalam hadits Abu Bakroh di atas, berkaitan dengan membunuh tanpa hak (tidak diperbolehkan), yaitu saling membunuh karena urusan duniawi atau tanpa ta’wil yang dibenarkan.
📌 Prinsip Umum:
Islam mengharomkan membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan. Hal ini ditegaskan oleh Nabi ﷺ dalam Hadits yang muttafaq ‘alaih:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالْمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dalam tiga perkara: (1) Jiwa dibalas jiwa (qishos), (2) orang yang sudah menikah lalu berzina, dan (3) orang yang murtad yaitu meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jamaah Muslimin.” (HR. Al-Bukhori no. 6878 dan Muslim no. 1676)
✅ (1) Pelaku Pembunuhan Dibunuh Secara Qishosh
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukum qishosh terhadap orang-orang yang terbunuh.” (QS. Al-Baqoroh: 178)
Hukum qishosh ini dilaksanakan oleh penguasa, bukan rakyat biasa. Jika bukan oleh pihak berwenang, maka dianggap pembunuhan tanpa hak.
✅ (2) Pezina Muhshon (sudah menikah) Dirajam Sampai Mati
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallahu ‘Anhu:
أَلاَ وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ، إِذَا قَامَتِ البَيِّنَةُ، أَوْ كَانَ الحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ، أَلاَ وَقَدْ «رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ»
“Ingatlah, hukum rajam adalah haq (benar) terhadap pezina muhshon, jika telah tegak bukti, atau ada kehamilan, atau pengakuan. Ingatlah, Rosulullah ﷺ telah merajam dan kami pun mengikuti beliau setelahnya.” (HR. Al-Bukhori no. 6830)
✅ (3) Murtad (Keluar dari Islam)
Rosulullah ﷺ bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhori no. 3017)
✅ (4) Memerangi Bughot (Pemberontak yang Angkat Senjata)
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah yang aniaya itu hingga kembali kepada perintah Allah.” (QS. Al-Hujurot: 9)
➡️ Ayat ini menjadi dalil bolehnya penguasa memerangi kelompok pemberontak yang keluar dari ketaatan terhadap pemerintahan sah, meskipun menyebabkan terbunuhnya sebagian mereka.
✅ (5) Memerangi Penolak Zakat
Abu Bakr Ash-Shiddiq Rodhiyallahu ‘Anhu memerangi orang-orang yang menolak bayar Zakat, dan para Shohabat sepakat. Dalilnya, Hadits:
وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ المَالِ، وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا
“Demi Allah! Aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan antara Sholat dan Zakat. Sesungguhnya Zakat adalah hak dari harta. Demi Allah, seandainya mereka tidak menyerahkan kepadaku meski anak onta yang dahulu mereka serahkan ke Rosulullah (sebagai zakat), aku pasti akan memerangi mereka karena penahanan itu.” (HR. Al-Bukhori no. 6925)
🏛️ Kesimpulan Penting:
Semua bentuk eksekusi hukuman qishosh atau had adalah wewenang penguasa (ulil amri). Rakyat atau individu tidak berhak melakukan hukuman sendiri, karena hal itu menimbulkan kekacauan dan bertentangan dengan syariat.
🟥 Membunuh Tanpa Hak (القتل بغير حق)
📌 Contoh: Saling membunuh karena politik, harta, kekuasaan, atau tanpa ta’wil syar’i. Dalilnya Hadits Abu Bakroh Rodhiyallahu ‘Anhu:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ
“Jika dua orang Muslim saling berhadapan dengan pedang, maka pembunuh dan yang terbunuh, keduanya di Neraka.” (HR. Al-Bukhori no. 31 dan Muslim no. 2888)
Para Ulama menjelaskan bahwa ini berlaku jika keduanya saling membunuh tanpa hak, misalnya karena ambisi duniawi atau ta’wil yang tidak dibenarkan.
⚠️ Catatan: “Membunuh dengan haq” adalah hukum syar’i yang dijalankan oleh negara Islam, bukan individu. Barang siapa melakukannya secara pribadi, maka dia melakukan kejahatan pembunuhan yang diharomkan.
Dikecualikan membunuh demi menjaga pembegal atau semisalnya dalam rangka membela agama, harta, keluarga, maupun diri sendiri. Dari Said bin Zaid, Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ»
“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena membela agamanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena membela darahnya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” (HSR. Tirmidzi no. 1421)
Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي؟ قَالَ: «فَلَا تُعْطِهِ مَالَكَ» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِي؟ قَالَ: «قَاتِلْهُ» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِي؟ قَالَ: «فَأَنْتَ شَهِيدٌ»، قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ؟ قَالَ: «هُوَ فِي النَّارِ»
Ada seorang laki-laki datang kepada Rosulullah ﷺ, lalu berkata: “Wahai Rosulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang datang ingin mengambil hartaku?” Beliau ﷺ menjawab: “Jangan kamu berikan hartamu kepadanya.” Laki-laki itu bertanya: “Bagaimana jika dia memerangiku?” Beliau ﷺ menjawab: “Perangilah dia!” Ia bertanya lagi: “Bagaimana jika dia membunuhku?” Beliau ﷺ menjawab: “Kamu mati syahid.” Ia bertanya: “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?” Beliau ﷺ menjawab: “Dia masuk Neraka.”
Ancaman Atas Membunuh
Orang yang membunuh Muslim tanpa hak diancam, dengan lima hal: Jahannam, lamanya tinggal, dimurkai, dilaknat, beratnya siksaan, sebagaimana firman Allah:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
siapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Neraka Jahannam, kekal (bagi yang menghalalkannya dan sementara bagi yang mengakuinya dosa) di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nisa’: 93)
Berikut hadits-hadits ancaman selain ayat di atas:
1. Hadits dari Abdullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu
«أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ بِالدِّمَاءِ»
“Perkara pertama yang diadili di antara manusia pada Hari Kiamat adalah perkara darah (pembunuhan).” (HR. Al-Bukhori no. 6533 dan Muslim no. 1678)
➡️ Ini menunjukkan betapa beratnya dosa pembunuhan, karena menjadi urusan pertama yang diadili oleh Allah Ta’ala.
2. Hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim.” (HSR. At-Tirmidzi no. 1395)
➡️ Dosa membunuh Mukmin itu lebih berat daripada musnahnya seluruh dunia.
3. Hadits dari Abu Darda’ Rodhiyallahu ‘Anhu
لاَ يَزَالُ الْمُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ، مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا
“Seorang Mukmin senantiasa dalam keluasan agama, selama ia tidak menumpahkan darah yang haram.” (HR. Al-Bukhori no. 6862)
➡️ Jika ia membunuh tanpa hak, maka ruang ampunan semakin sempit, dan bisa masuk dalam ancaman berat.
Tidak Mutlak Masuk Neraka
Orang beriman yang melakukan dosa besar: di bawah kehendak Allah, jika tidak bertaubat sampai wafat. Mungkin diampuni Allah sehingga langsung Surga atau disiksa sehingga masuk Neraka sementara. Karena pelaku dosa besar tidak keluar dari Islam, berbeda dengan pandangan Khowarij dan Mu’tazilah.
Berikut dalil-dalilnya:
✅ 1. Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116)
📌 Makna: Dosa besar selain syirik masih berpeluang diampuni oleh Allah, jika Allah menghendaki, meskipun pelakunya wafat tanpa taubat. Ini membantah pandangan Khowarij dan Mu’tazilah yang menyatakan pelaku dosa besar pasti kekal di Neraka.
✅ 2. Hadits Syafa’at (Mutawatir maknawi)
Nabi ﷺ bersabda:
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مَا يَزِنُ مِنَ الخَيْرِ ذَرَّةً
“Akan keluar dari Neraka orang yang mengucapkan لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ sementara di dalam hatinya terdapat seberat biji iman.” (HR. Al-Bukhori no. 7410 dan Muslim no. 182)
📌 Makna: Seorang Muslim yang berdosa berat tetap memiliki iman walaupun kecil, dan tidak kekal di Neraka.
Hadits ini menegaskan bahwa pelaku dosa besar tetap dianggap Mukmin, walaupun imannya lemah dan masuk Neraka sementara.
✅ 3. Hadits Abu Dzar Rodhiyallahu ‘Anhu
Rosulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’, lalu ia mati dalam keadaan demikian, maka ia akan masuk Surga.” Abu Dzar berkata, “Walaupun ia berzina dan mencuri, wahai Rosulullah?” Nabi menjawab: “Walaupun ia berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhori no. 5827 dan Muslim no. 94)
📌 Hadits ini membantah Khowarij dan Mu’tazilah yang memvonis pelaku dosa besar sebagai kafir atau keluar dari Islam.
Allahu a’lam.[]